Thursday, January 24, 2008

Allah Knows

Perihal Hati Yang Hidup

PERIHAL HATI YANG HIDUP

· Dalam hati manusia terdapat kekuatan, tidak terurai kecuali dengan menerima kehendak Allah.
· Dalam hati manusia terdapat keganasan, tidak hilang kecuali berjinak dengan Allah.
· Dalam hati terdapat kesedihan, tidak hilang kecuali seronok mengenali Allah dan baik muamalah dengan-Nya.
· Dalam hati terdapat kegelisahan, tidak hilang kecuali berjumpa dengan-Nya dan lari menuju-Nya.
· Dalam hati terdapat api penyesalan, tidak padam kecuali redha dengan suruhan-Nya, larangan-Nya, qadha-Nya, dan sentiasa sabar sehingga menemuinya.
· Dalam hati terdapat hajat, tidak terbendung kecuali dengan kecintaan kepada-Nya, memohon kepada-Nya, sentiasa berzikir kepada-Nya dan keikhlasan pada-Nya. Andai dunia dan seisinya diberi, tidak akan dapat membendung hajat hati si insan ini.

Monday, January 14, 2008

MUKTAMAR - PELUANG IKTIKAF DI MASJID


Semasa muktamar nanti, InsyaAllah muslimin akan bermalam di masjid. Ini adalah peluang untuk beriktikaf satu hari di masjid . I’tikaf, secara bahasa, bererti tinggal di suatu tempat untuk melakukan sesuatu yang baik. Jadi, i’tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan NIAT beribadah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Beri’tikaf bisa dilakukan bila-bila saja. Namun, Rasulullah saw. sangat menganjurkan di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Inilah waktu yang baik bagi kita untuk bermuhasabah dan taqarub secara penuh kepada Allah swt. guna mengingat kembali tujuan diciptakannya kita sebagai manusia. “Sesungguhnya tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu,” begitu firman Allah di QS. Az-Zariyat (51): 56.



Para ulama sepakat bahwa i’tikaf, khususnya 10 hari terakhir di bulan Ramadhan, adalah ibadah yang disunnahkan oleh Rasulullah saw. Beliau sendiri melakukanya 10 hari penuh di bulan Ramadhan. Aisyah, Umar bin Khattab, dan Anas bin Malik menegaskan hal itu, “Adalah Rasulullah saw. beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan, pada tahun wafatnya Rasulullah saw. beri’tikaf selama 20 hari. Para sahabat, bahkan istri-istri Rasulullah saw., selalu melaksanakan ibadah ini. Sehingga Imam Ahmad berkata, “Sepengetahuan saya tak seorang ulama pun mengatakan i’tikaf bukan sunnah.”

“I’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati beri’tikaf dan bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan menumpukan perhatian sepenuhnya kepada Allah,” begitu kata Ibnu Qayyim.

Itulah hikmah i’tikaf. Ruh kita memerlukan waktu berhenti sejenak untuk disucikan. Hati kita perlukan waktu yang khusus untuk secara penuh beribadah dan bertaqarub kepada Allah saw. Kadang-kadang kita perlu berkhalwat dengan Allah dan berhenti sejenak memikirkan kehidupan dunia untuk mendekatkan diri seutuhnya kepada Allah saw., bermunajat dalam doa dan istighfar serta membulatkan iltizam dengan syariat sehingga ketika kembali menjadi manusia baru yang lebih bernilai.



Syarat dan Rukun I’tikaf

Ada tiga syarat orang yang beri’tikaf, yaitu muslim, berakal, dan suci dari janabah, haid dan nifas. Artinya, i’tikaf tidak sah jika dilakukan oleh orang kafir, anak yang belum bisa membedakan (mumayiz), orang yang junub, wanita haid dan nifas.

Sedangkan rukunya ada dua, yaitu, pertama, niat yang ikhlas. Sebab, semua amal sangat tergantung pada niatnya. Kedua, berdiam di masjid. Dalilnya QS. Al-Baqarah (2): 187, “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu sedang kamu beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”


Masjid yang mana? Imam Malik membolehkan i’tikaf di setiap masjid. Sedangkan Imam Hanbali membatasi hanya di masjid yang dipakai untuk shalat berjama’ah atau shalat jum’at. Alasannya, ini agar orang yang beri’tikaf bisa selalu shalat berjama’ah dan tidak perlu meninggalkan tempat i’tikaf menuju ke masjid lain untuk shalat berjama’ah atau shalat jum’at. Pendapat ini diperkuat oleh ulama dari kalangan Syafi’i. Alasannya, Rasulullah saw. beri’tikaf di masjid jami’. Bahkan kalau kita punya rezeki, lebih utama kita melakukannya di Masjid Haram, Masjid Nabawi, atau di Masjid Aqsha.
Rasulullah memulai i’tikaf dengan masuk ke masjid sebelum matahari terbenam memasuki malam ke-21. Ini sesuai dengan sabdanya, “Barangsiapa yang ingin i’tikaf denganku, hendaklah ia i’tikaf pada 10 hari terakhir.”
I’tikaf selesai setelah matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadhan. Tetapi, beberapa kalangan ulama lebih menyukai menunggu hingga dilaksanakannya shalat Ied.


Ketika Anda i’tikaf, ada hal-hal sunnah yang bisa Anda laksanakan. Perbanyaklah ibadah dan taqarub kepada Allah. Misalnya, shalat sunnah, tilawah, bertasbih, tahmid, dan tahlil. Beristighfar yang banyak, bershalawat kepada Rasulullah saw., dan berdoa. Sampai-sampai Imam Malik meninggalkan aktivitas ilmiahnya. Beliau mengutmakan menunaikan ibadah mahdhah dalam i’tikafnya.

Meski begitu, orang yang beri’tikaf bukan berarti tidak boleh melakukan aktivitas keduniaan. Rasulullah saw. pernah keluar dari tempat i’tikaf karena mengantar isterinya, Shafiyah, ke suatu tempat. Orang yang beri’tikaf juga boleh keluar masjid untuk keperluan yang diperlukan seperti buang hajat, makan, minum, dan semua kegiatan yang tidak mungkin dilakukan di dalam masjid. Tapi setelah selesai urutan itu, segera kembali ke masjid. Orang yang beri’tikaf juga boleh menyisir, bercukur, memotong kuku, membersihkan diri dari kotoran dan bau. Bahkan, membersihkan masjid. Masjid harus dijaga kebersihan dan kesuciannya ketika orang-orang yang beri’tikaf makan, minum, dan tidur di masjid.

I’tikaf dikatakan batal jika orang yang beri’tikaf meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar. Sebab, ia telah mengabaikan satu rukun, yaitu berdiam di masjid. Atau, orang yang beri’tikaf murtad, hilang akal karena gila atau mabuk. I’tikaf juga batal jika wanita yang beri’tikaf haid atau nifas. I’tikaf juga batal kalau yang melakukannya berjima’ dengan istrinya. Begitu juga kalau ia pergi shalat Jum’at ke masjid lain karena tempatnya beri’tikaf tidak dipakai untuk melaksanakan shalat jum’at.



I’tikaf bagi Muslimah


I’tikaf disunnahkan bagi lelaki, begitu juga wanita. Tapi, bagi wanita ada syarat tambahan selain syarat-syarat secara umum di atas, yaitu, pertama, harus mendapat izin suami atau orang tua. Apabila izin telah dikeluarkan, tidak boleh ditarik lagi.



Perempuan sah melakukan i‘tikaf sebagaimana para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya. Untuk jelasnya beberapa hukum mengenai perempuan yang beri‘tikaf sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Majmuk (Al-Majmuk: 6/470-471):
1. Tidak sah dan tidak harus seorang perempuan beri‘tikaf tanpa izin daripada suami. Jika isteri bernazar untuk melakukan i‘tikaf dengan kebenaran suami, sebagai contoh ia ditentukan selama 2 hari, menurut Imam An-Nawawi harus bagi isteri tersebut masuk ke masjid tanpa memerlukan izin daripada suami, kerana kebenaran nazar itu adalah izin untuk masuk ke masjid. Jika nazar tersebut tidak ditentukan dengan masa, maka tidak harus bagi isteri masuk ke masjid tanpa izin suami.
2. Jika seorang isteri masuk masjid melakukan i‘tikaf sunat tanpa izin suami atau sebaliknya, maka harus bagi suami melarang meneruskan i‘tikaf itu tanpa khilaf (percanggahan ulama).

Kedua, tempat dan pelaksanaan i’tikaf wanita sesuai dengan tujuan syariah. Para ulama berbeda pendapat tentang masjid untuk i’tikaf kaum wanita. Tapi, sebagian menganggap afdhal jika wanita beri’tikaf di masjid tempat shalat di rumahnya. Tapi, jika ia akan mendapat manfaat yang banyak dengan i’tikaf di masjid, ya tidak masalah.
Terakhir, agar i’tikaf kita berhasil memperkokoh keislaman dan ketakwaan kita, tidak ada salahnya jika dalam beri’tikaf kita dibimbing oleh orang-orang yang ahli dan mampu mengarahkan kita dalam membersihkan diri dari dosa dan cela.


p/s Gambar-gambar yang ditunjukkan (kecuali gambar lelaki yang sedang sujud) adalah gambar pemandangan di Masjid Wan Alwi)

PROGRAM SEMINAR PEMANTAPAN IBADAH



SEMINAR PEMANTAPAN IBADAH

TEORI & PENEKANAN PRAKTIKAL BERSUCI DAN IBADAH

(SOLAT, WUDHU ETC)

20 JANUARI 2008 (AHAD)

SURAU KOLEJ TUN AHMAD ZAIDI

(UNIMAS)

8:15 PAGI - 4.15 PETANG

USTAZ SYED IZZUDIN AL MUNIR AL-AIDARUS


TENTATIF

0800 Ketibaan para peserta dan penceramah
0815 Bermula pembentangan slide show
0950 Rehat & Soal Jawab
1 1030 Praktikal Bersuci
1200 Rehat (Makanan tgh hari untuk peserta boleh dibeli di kafe)
1330 Praktikal Solat
1510 Soal Jawab
2 1410 Solat Asar, Jamuan Ringan & Bersurai


Hubungi:
Timb. Amirah PERKEPIS kampus UNIMAS:0138004732

Diharap semua dapat menghadirkan diri agar kualiti ibadah kita dapat ditingkatkan dan diterima olehNYA.
datang jgn x dtg .

Tuesday, January 1, 2008

Hukum-Hukum Haid


Oleh: Syaikh Muhammad al-Shalih al-‘Utsaimin


Terdapat beberapa hukum yang wajib ke atas wanita ketika sedang haid. Berikut dikemukakan sebahagian daripadanya yang terpenting:

Pertama: Solat.
Diharamkan solat ke atas wanita yang sedang haid, sama ada solat sunat mahupun solat fardhu. Bahkan tidak sah jika dia tetap melaksanakannya.
Namun terdapat satu pengecualian, iaitu apabila dia sempat memperoleh satu rakaat solat fardhu dalam waktunya, sama ada di awal waktu atau akhir waktu, maka wajib ke atasnya untuk melaksanakan solat fardhu tersebut.

Contoh: Memperoleh satu rakaat di awal waktu.
Seorang wanita didatangi haid selepas masuk waktu Maghrib. Akan tetapi antara saat masuk waktu Maghrib dan saat dia didatangi haid, wujud satu tempoh masa yang, paling minima, sempat untuk dia melaksanakan rakaat pertama solat Maghrib. Maka wajib baginya mengqadha solat Maghrib tersebut apabila suci. Ini kerana pada asalnya dia dikira sempat mendapat satu rakaat daripada solat Maghrib tersebut sebelum datang haid.

Contoh: Memperoleh satu rakaat di akhir waktu.
Seorang wanita suci daripada haid sebelum terbit matahari. Akan tetapi antara saat dia suci dan saat terbit matahari wujud satu tempoh masa yang, paling minima, sempat untuk dia melaksanakan rakaat pertama solat Subuh.
Maka wajib baginya mengqadha solat Subuh tersebut apabila dia selesai bersuci (mandi wajib). Ini kerana pada asalnya dia dikira sempat mendapat satu rakaat daripada solat Subuh tersebut apabila tamat haidnya.
Jika tempoh masa yang wujud di awal waktu bagi wanita yang didatangi haid atau di akhir waktu bagi wanita yang tamat haid adalah terlalu singkat sehingga tidak mungkin melaksanakan minima satu rakaat solat, maka tidak wajib untuk baginya melaksanakan solat tersebut.

Dalil bagi seluruh hukum ini ialah sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam:


“Sesiapa yang mendapat satu rakaat dari solat maka sesungguhnya ia telah mendapat solat.” [Shahih al-Bukhari – no: 580 (Kitab waktu-waktu solat) dan Shahih Muslim – no: 607 (Kitab al-Masjid)]


Apabila seorang wanita tamat haidnya dan sudah bersuci lalu dia berjaya memperoleh satu tempoh masa dalam waktu Asar, adakah wajib baginya untuk melaksanakan kedua-dua solat Zohor dan Asarnya (jamak takhir)? Atau sesudah bersuci dia berjaya memperoleh satu tempoh masa dalam waktu Isyak, adakah wajib baginya untuk melaksanakan kedua-dua solat Maghrib dan Isyak (jamak takhir)?


Terdapat perselisihan pendapat dalam persoalan ini. Namun yang benar dia hanya wajib melaksanakan solat yang berada dalam waktu tersebut sahaja. Iaitu solat Asar dalam waktu Asar (tanpa menjamak solat Zohor), solat Isyak dalam waktu Isyak (tanpa menjamak solat Maghrib).

Dalilnya adalah sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam:


“Apabila seseorang kamu memperoleh satu sujud daripada solat Asar sebelum terbenam matahari, maka hendaklah dia menyempurnakan solatnya.” [Shahih al-Bukhari – no: 556 (Kitab waktu-waktu solat)]


Dalam hadis di atas Rasulullah tidak berkata: “Maka sesungguhnya dia telah mendapat solat Zuhur dan Asar” atau: “Wajib solat Zuhur ke atasnya.”
Pendapat ini juga diperkuatkan
oleh sebuah kaedah usul yang menyebut:
Pada asalnya tidak ada hukum yang
ditanggung (oleh manusia kecuali yang dipertanggungkan oleh syara’).


Pendapat ini merupakan mazhab Abu Hanifah dan Malik sebagaimana yang disebut oleh Imam al-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Majmu’ Syarh al-Muhazzab.

Kedua: Berzikir dan Membaca al-Qur’an.
Wanita yang sedang haid boleh berzikir, bertasbih (membaca Subhanalah), bertahmid (membaca alhamdulillah), membaca Bismillah ketika makan dan sebagainya. Boleh juga membaca buku-buku hadis, fiqh (buku agama), berdoa, mengaminkan doa dan mendengar bacaan a-Qur’an.
Jelas di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab-kitab hadis yang lain bahawa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersandar di riba ‘A’isyah radhiallahu 'anha sambil membaca al-Qur’an padahal ‘A’isyah di saat itu sedang haid.


Di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Umm ‘Athiah radhiallahu 'anha berkata, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda menyuruh keluar wanita-wanita dan anak-anak gadis yang berada di dalam rumah kepada solat dua hari raya (Solat Hari Raya Aidil Fitri dan Hari Raya Aidil Adha) supaya mereka dapat menyaksikan kebaikan dan seruan orang mukmin, dan jauhilah wanita haid daripada mushalla (tempat lapang solat Hari Raya).[1]


Juga diharuskan bagi wanita yang sedang haid untuk membaca al-Qur’an dengan cara melihat dengan mata atau menghayatinya dalam hati tanpa menutur dengan lidah. Boleh juga meletak mushaf al-Qur’an di hadapannya lalu melihat ayat-ayatnya dan membacanya dengan hati. Berkata Imam al-Nawawi rahimahullah dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab: Hal ini diharuskan tanpa perselisihan pendapat.


Adapun membaca dengan lidah bagi wanita yang sedang haid, maka terdapat perbezaan pendapat. Jumhur ilmuan berpendapat ianya dilarang. Imam al-Bukhari, Ibn Jarir al-Thabari dan Ibn al-Munzir berpendapat ia diharuskan. Demikian juga oleh Imam Malik dan Imam al-Syafi’e dalam pendapatnya yang lama. Ini sebagaimana yang disebut oleh Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari. Imam al-Bukhari mengemukakan sebuah riwayat daripada Imam Ibrahim al-Nakha’e (seorang tokoh tabi‘in) bahawa: “Tidak mengapa jika dibaca hanya satu ayat.”


Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah membahas persoalan ini dalam kitabnya Majmu’ al-Fatawa, jld. 26, ms. 191 :
Sejak asal tidak ada larangan daripada al-Sunnah (bagi wanita yang sedang haid) membaca al-Qur’an. Hadis: “Wanita haid tidak boleh membaca sesuatu daripada al-Qur’an” adalah hadis yang lemah (dha‘if) yang disepakati oleh para ahli hadis.


Lebih dari itu, diketahui wanita-wanita di zaman Nabi shalallahu 'alaihi wasallam sedia mengalami haid. Maka jika haram ke atas mereka untuk membaca al-Qur’an sepertimana haram ke atas mereka mendirikan solat, nescaya ia diterangkan oleh Nabi kepada umatnya dan dipelajari oleh para isteri baginda. Hal ini kemudiannya akan tersebar kepada manusia.


Namun tidak seorang jua yang meriwayatkan pengharaman seumpama daripada Nabi. Maka tidak boleh menghukum ia sebagai haram sedangkan baginda Nabi sendiri tidak pernah mengharamkannya. Justeru apabila Nabi tidak menegah daripada demikian padahal ramai wanita yang haid di zamannya, bererti diketahui bahawa tidaklah haram bagi wanita haid membaca al-Qur’an.


Di antara perselisihan pendapat ini, yang lebih utama ialah wanita yang sedang haid tidak membaca al-Qur’an dengan lidahnya melainkan jika perlu, seperti guru yang mengajar al-Qur’an, murid yang menduduki peperiksaan dan sebagainya.

Ketiga: Puasa.
Diharamkan bagi wanita yang sedang haid untuk berpuasa, sama ada puasa sunat mahupun puasa fardhu. Jika dia tetap berpuasa maka tidak sah puasanya.

Akan tetapi dia wajib mengqadha puasa fardhunya berdasarkan kenyataan ‘A’isyah radhiallahu 'anha:
“Apabila yang demikian itu (haid) menimpa kami, maka kami disuruh (oleh Rasulullah) mengqadha puasa namun tidak disuruh untuk mengqadha solat.” [Shahih Muslim­ – no: 335 (Kitab al-Haid)]

Berikut beberapa permasalahan khusus antara puasa dan wanita yang haid:
Apabila seorang wanita sedang berpuasa lalu dia didatangi haid, maka puasanya menjadi batal sekalipun waktu berbuka (waktu Maghrib) sudah sangat hampir. Dia wajib mengqadha puasa tersebut jika ia adalah puasa fardhu.


Apabila seorang wanita sedang berpuasa lalu dia merasa akan didatangi haid sebelum waktu berbuka (waktu Maghrib), maka teruskan menyempurnakan puasanya itu. Menurut pendapat yang benar,[2] puasanya tidak batal kerana sesungguhnya darah masih berada di dalam badan dan tidak ada hukum baginya (selagi ia tidak mengalir keluar).


Ini sebagaimana kes seorang wanita yang bermimpi seperti seorang lelaki lalu datang menemui Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bertanya, adakah dia perlu mandi wajib? Baginda menjawab: “Ya, jika dia melihat ada air (mani yang mengalir keluar).”


Dalam hadis di atas Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menghubungkan hukum mandi wajib dengan kewujudan air mani dan bukan masa. Maka demikianlah juga dengan haid, dilaksanakan hukum-hukumnya berdasarkan keluarnya haid, bukan berdasarkan masanya.[3]


Apabila seorang wanita didatangi haid hanya sekadar tempoh masa yang pendek selepas terbitnya fajar (masuk waktu Subuh), maka puasanya tetap tidak sah.


Apabila seorang wanita tamat haidnya sebelum terbit fajar (belum masuk waktu Subuh), maka dia boleh berpuasa dan puasanya adalah sah sekalipun dia belum sempat mandi wajib.

Ini sebagaimana hukum orang berjunub yang berpuasa padahal dia tidak mandi wajib kecuali selepas terbit fajar (masuk waktu Subuh). Puasanya tetap sah berdasarkan hadis ‘A’isyah radhiallahu 'anha:
“Pernah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bangun pagi dalam keadaan junub bukan kerana bermimpi. Kemudian baginda berpuasa.” [Shahih al-Bukhari – no: 1932 (Kitab al-Siyam)]

Keempat: Tawaf di Ka’bah.
Diharamkan bagi wanita yang sedang haid untuk tawaf, sama ada tawaf sunat mahupun tawaf fardhu. Jika dia tetap tawaf maka tidak sah tawafnya. Ketika mengikuti rombongan haji bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ‘A’isyah radhiallahu 'anha didatangi haid, lalu beliau bertanya hukumnya. Rasulullah menjawab:
“Lakukan apa yang telah dilakukan oleh orang haji kecuali jangan bertawaf di Ka’abah sehingga kamu bersuci.” [Shahih Muslim – no: 1211]

Akan tetapi diharuskan melaksanakan lain-lain amalan daripada haji dan umrah seperti sa’e antara Safa dan Marwah, wuquf, bermalam di Mudzalifah dan Mina, melontar jamrah dan sebagainya.
Apabila seorang wanita telah menyempurnakan ibadah haji dan umrah lalu dia didatangi haid yang berterusan sehingga saat hendak balik ke negerinya, dia boleh balik tanpa melakukan tawaf wida’ (tawaf selamat tinggal). Ini berdasarkan hadis Ibn ‘Abbas radhiallahu 'anh:
“Orang ramai disuruh untuk mengakhiri pertemuan mereka di al-Bait (Ka’bah dengan tawaf), kecuali (suruhan ini) diringankan daripada wanita yang sedang haid.” [Shahih Muslim – no: 1328 (Kitab al-Haj)]

Adapun amalan datang ke pintu Masjid al-Haram dan berdoa bagi wanita haid yang hendak balik ke negerinya, maka ia tidak berasal daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Perlu diingatkan bahawa setiap ibadat hendaklah berasal daripada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Bahkan amalan di atas bertentangan dengan apa yang diajar oleh Rasulullah, di mana apabila Safiyah radhiallahu 'anha didatangi haid sesudah tawaf ifahad, baginda bersabda kepada beliau: “Maka hendaklah dia beransur pergi.” [Shahih Muslim – no: 1211 (Kitab al-Haj)]
Baginda tidak menyuruh Safiyah pergi ke pintu masjid padahal jika yang sedemikian adalah amalan yang disyari‘atkan pasti baginda akan menjelaskannya.
Demikian hukumnya bagi tawaf wida’ dan wanita yang didatangi haid. Adapun tawaf wajib bagi ibadah haji dan umrah, ia tidak gugur daripada wanita yang didatangi haid. Dia tetap wajib melaksanakannya apabila sudah suci.

Kelima: Duduk Dalam Masjid.
Diharamkan bagi wanita yang sedang haid untuk berada atau duduk dalam masjid, termasuk padang yang digunakan untuk solat Hari Raya. Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Umm ‘Athiah radhiallahu 'anha bahawa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam telah bersabda:
“Suruhlah keluar wanita-wanita dan anak-anak gadis yang berada di dalam rumah (kepada solat dua hari raya) supaya mereka dapat menyaksikan kebaikan dan seruan orang mukmin, dan jauhilah wanita haid daripada mushalla (tempat lapang solat Hari Raya).” [Shahih al-Bukhari – no: 1652 (Kitab al-Haj)]

Keenam: Bersetubuh.
Diharamkan bagi seorang suami untuk menyetubuhi isterinya yang sedang haid. Demikian juga, diharamkan bagi seorang isteri yang sedang haid untuk membiarkan suaminya menyetubuhinya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:



Dan mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad), mengenai (hukum) haid. Katakanlah: “Darah haid itu satu benda yang mendatangkan mudarat.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari perempuan (jangan bersetubuh dengan isteri kamu) dalam masa datang darah haid itu, dan janganlah kamu hampiri mereka (untuk bersetubuh) sebelum mereka suci. Kemudian apabila mereka sudah bersuci maka datangilah mereka menurut jalan yang diperintahkan oleh Allah kepada kamu. SesungguhNya Allah mengasihi orang-orang yang banyak bertaubat, dan mengasihi orang-orang yang sentiasa mensucikan diri. [al-Baqarah 2:222]


Yang dimaksudkan dengan al-Mahidh (المحيض) ialah masa haid dan tempatnya ialah di faraj. Larangan ini juga berdasarkan sebuah hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:



“Lakukanlah apa sahaja (dengan isterimu yang sedang haid) kecuali nikah (bersetubuh) .” [Shahih Muslim – no: 302 Kitab al-Haid)].


Lebih dari itu umat Islam telah bersepakat bahawa haram hukumnya bersetubuh dengan isteri yang sedang haid.Oleh itu tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat untuk melakukan kemungkaran bersetubuh ketika haid. Larangan ini telah ditunjukkan oleh al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’ (kesepakatan) umat Islam.Justeru jika seseorang itu tetap melakukan kemungkaran bersetubuh ketika haid, maka termasuklah dia di kalangan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti jalan yang selain daripada jalan orang-orang Islam. Imam al-Nawawi rahimahullah dalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, jld. 2, ms. 374 menukil kata-kata Imam al-Syafi’e rahimahullah:



Sesiapa yang melakukannya maka sesungguhnya dia melakukan dosa besar, demikian berkata para sahabat kami (para tokoh Mazhab al-Syafi’e), manakala yang selainnya (para tokoh mazhab lain) berkata: Sesiapa yang menghalalkan setubuh dengan wanita haid dihukumkan kafir.

Selain itu, dihalalkan bagi suami untuk memuaskan nafsunya dengan berciuman, berpelukan, bersentuhan dan lain-lain, asalkan bukan faraj. Malah lebih utama jika tidak bersentuhan kulit pada kawasan yang terletak antara pusat dan lutut kecuali dengan berlapik. ‘A’isyah radhiallahu 'anha berkata:

“(Nabi shallallahu 'alaihi wasallam) menyuruhku supaya memakai kain kemudian baginda menyentuhiku sedangkan aku sedang haid.” [Shahih al-Bukhari – no: 301 (Kitab al-Haid)]


Ketujuh: Talak (Cerai)
Diharamkan ke atas suami untuk menceraikan isterinya yang sedang haid. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:
Wahai Nabi! Apabila kamu - (engkau dan umatmu) - hendak menceraikan isteri-isteri (kamu), maka ceraikanlah mereka pada masa mereka dapat memulakan iddahnya. [al-Talaq 65:01]

Seorang isteri diketahui memulakan iddahnya dengan kehamilan atau datang haid sesudah berlalu waktu suci. Seorang suami menyetubuhi isterinya ketika suci lalu kemudian menceraikannya, iddah isteri diketahui dengan kehamilan. Jika tidak hamil, maka iddah isteri diketahui dengan datang haid. Seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya yang sedang haid kerana masa haid tidak dikira sebagai permulaan iddah.


Maka menceraikan wanita yang sedang haid adalah haram berdasarkan ayat di atas. Lebih dari itu tercatit di dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim serta kitab-kitab hadis yang lain, ‘Abd Allah ibn ‘Umar radhiallahu 'anhuma pernah menceraikan isterinya yang sedang haid. ‘Umar radhiallahu 'anh memberitahu hal ini kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Wajah Rasulullah berubah kerana marah dan baginda menyuruh Ibn ‘Umar merujuk kembali isterinya, kemudian memegangnya sehingga dia suci, kemudian haid, kemudian suci. Kemudian jika dia mahu, boleh memegangnya (memperisterikannya seperti biasa) dan jika dia mahu, boleh menceraikannya sebelum menyetubuhinya. Maka demikianlah iddah yang Allah telah perintahkan bahawa diceraikan wanita padanya.[4]


Justeru jika seorang suami menceraikan isterinya yang sedang haid, dia berdosa. Dia wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Kemudian hendaklah dia mengambil isterinya kembali di bawah jagaannya untuk diceraikan dengan penceraian yang menepati syari‘at Allah dan Rasul-Nya. Iaitu, hendaklah dia tidak menyetubuhi isterinya sehinggalah dia (isteri) menjadi suci dari haid. Kemudian barulah dijatuhkan talak (diceraikan) , ditunggu hingga datang haid sekali lagi, kemudian suci semula. Maka setelah itu jika dia (suami) ingin kembali bersama isterinya maka dia boleh rujuk semula. Jika dia (suami) tidak ingin maka boleh dilepaskan, dengan syarat tidak disetubuhi isterinya dalam jangka masa tersebut.

Hukum haram menceraikan isteri yang sedang haid memiliki 3 pengecualian:
Pertama:
Tidak mengapa (tidak haram) menceraikan isteri yang sedang haid jika sejak bernikah pasangan suami isteri tersebut belum pernah bersamaan atau bersetubuh. Ini kerana tidak ada iddah bagi isteri dalam kes seperti ini sehingga penceraian yang dijatuhkan ke atasnya tidak menyalahi firman Allah di atas.


Kedua:
Tidak mengapa (tidak haram) menceraikan isteri yang didatangi haid ketika sedang hamil. Hal ini telah diterangkan sebelum ini dalam Bab kedua, dalam perbincangan Haid Wanita Hamil.


Ketiga:
Tidak mengapa (tidak haram) jika berlaku penceraian secara tebus talak (khulu’). Iaitu seorang suami yang menceraikan isterinya yang sedang haid dengan mengambil bayaran.

Dalilnya adalah sebuah hadis daripada Ibn ‘Abbas radhiallahu ‘anh yang menceritakan tentang isteri Thabit bin Qays radhiallahu ‘anha yang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata:



Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencelanya (suaminya: Thabit bin Qays) kerana akhlak dan agamanya tetapi aku membenci kekufuran dalam Islam.”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: “Adakah kamu mengembalikan kebunnya?” Isteri Thabit menjawab: “Ya.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (kepada Thabit): Terimalah kebunmu dan ceraikanlah dia dengan satu talak.” [Shahih al-Bukhari – no: 5273 (Kitab al-Thalaq) ]

Dalam hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bertanya sama ada isteri Thabit bin Qays sedang haid atau tidak. Akan tetapi memandangkan talak ini adalah tebusan seorang isteri untuk dirinya sendiri, maka ia diharuskan dalam semua keadaan tanpa mengira sama ada sedang haid atau tidak.


Imam Ibn Qudamah rahimahullah di dalam kitabnya al-Mughni menerangkan sebab diharuskan tebus talak (khulu’) bagi seorang isteri yang sedang haid:
Larangan untuk menceraikan isteri yang sedang haid ialah bagi mengelakkan mudarat tempoh iddah yang panjang. Akan tetapi diharuskan tebus talak kerana kes tebus talak membabitkan seorang isteri yang menghadapi kehidupan bersama suami yang dia benci. Ini adalah satu mudarat yang besar ke atas isteri berbanding mudarat tempoh iddah yang panjang. Antara dua mudarat, perlu ditolak mudarat yang lebih besar. Atas dasar ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bertanya kepada isteri yang hendak menebus talak dirinya (sama ada dia sedang haid atau tidak).
Demikianlah 3 pengecualian yang membolehkan penceraian ketika seorang isteri sedang haid.


Selain itu sebagai poin tambahan, diharuskan melangsungkan akad nikah dengan seorang wanita yang sedang haid. Tidak ada dalil yang menegah hal ini. Akan tetapi lebih utama jika diperhatikan kedudukan bakal suami tersebut sama ada dia boleh mengawal dirinya daripada terus menyetubuhi isteri barunya itu yang sedang haid. Jika dia dapat mengawal dirinya maka tidak mengapa untuk meneruskan akad nikah. Akan tetapi jika tidak, maka lebih utama untuk ditangguhkan sehingga bakal isteri menjadi suci supaya tidak terjadi persetubuhan yang dilarang.

Kelapan: Dikira Bilangan Talak Dengan Haid.
Apabila seorang suami menceraikan isterinya selepas menyetubuhinya, maka wajib ke atas isteri tersebut menghitung iddahnya dengan kedatangan tiga kali haid yang sempurna. Syarat ini adalah bagi isteri yang masih didatangi putaran haid dan tidak hamil. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:
Dan isteri-isteri yang diceraikan itu hendaklah menunggu dengan menahan diri mereka (daripada berkahwin) selama tiga kali haid. [al-Baqarah 2:228]

Syarat menghitung iddah sepertimana di atas memiliki beberapa pengkhususan bagi kes yang berbeza-beza:


Pertama:
Jika isteri yang diceraikan sedang hamil, hitungan iddahnya adalah dengan kelahiran anak tanpa mengira sama ada tempoh hamilnya adalah panjang atau pendek. Firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:
Dan perempuan-perempuan mengandung, tempoh iddahnya ialah hingga mereka melahirkan anak yang dikandungnya. [al-Thalaq 65:04]


Kedua:
Jika isteri yang diceraikan tidak memiliki putaran haid, seperti kanak-kanak yang belum haid, orang tua yang putus haid, wanita yang dibuang rahimnya kerana sebab perubatan dan sebagainya, maka hitungan iddahnya ialah tiga bulan. Allah Subhanahu wa Ta‘ala berfirman:
Dan perempuan-perempuan dari kalangan kamu yang putus asa dari kedatangan haid, jika kamu menaruh syak (terhadap tempoh idah mereka) maka iddahnya ialah tiga bulan; dan (demikian) juga iddah perempuan-perempuan yang tidak berhaid. [al-Thalaq 65:04]


Ketiga:
Jika isteri yang diceraikan memiliki putaran haid tetapi ia terhenti kerana faktor yang diketahui seperti sakit atau sedang menyusu, maka dia wajib menunggu sehingga haidnya datang kembali dan menghitungnya dengan 3 putaran haid yang sempurna. Seluruh proses menunggu dan 3 putaran haid tersebut adalah tempoh iddah baginya, sekalipun ia mengambil masa yang agak lama.


Bagi kes di atas, jika isteri yang terhenti haidnya kembali sembuh atau selesai menyusu namun haidnya tetap tidak datang kembali, maka iddahnya adalah selama 12 bulan (setahun) bermula dari saat kesembuhannya atau akhir menyusu. Inilah pendapat yang benar lagi selari dengan kaedah-kaedah syarak kerana kes ini dikategorikan sebagai wanita yang tidak didatangi haid dengan sebab yang tidak diketahui. Tempoh iddah 12 bulan merangkumi 9 bulan masa mengandung sebagai langkah berhati-hati kerana ia adalah tempoh hamil yang lazim dan 3 bulan sebagai bilangan iddah.


Keempat:
Jika isteri yang diceraikan belum bersama-samaan dan bersetubuh dengan suami, maka baginya tidak ada hitungan iddah. Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta‘ala:
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berkahwin dengan perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu menyentuhnya (bersetubuh) , maka tiadalah kamu berhak terhadap mereka mengenai sebarang iddah yang kamu boleh hitungkan masanya. Oleh itu, berilah "mut'ah" (pemberian sagu hati) kepada mereka, dan lepaskanlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya. [al-Ahzab 33:49]

Kesembilan: Menghukum Kekosongan Rahim.
Kekosongan rahim bermaksud tidak hamil. Sebagai contoh, seorang isteri yang kematian suami berkahwin dengan suami yang baru. Suami yang baru tidak boleh menyetubuhinya sehingga dia didatangi haid atau jelas hamil. Jika isteri tersebut hamil maka dihukumkan bahawa kandungannya itu adalah daripada zuriat suaminya yang meninggal dunia. Sebaliknya jika isteri didatangi haid maka dihukumkan bahawa dia tidak mengandung apa-apa daripada suaminya yang meninggal dunia. Maka kedatangan haid menandakan kekosongan rahim.

Kesepuluh: Wajib Mandi.
Apabila haid berhenti, wajib mandi dengan mengenakan air ke seluruh anggota badan berdasarkan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Abi Hubaisy radhiallahu ‘anha:
“Apabila datang haid maka hendaklah kamu meninggalkan solat, dan apabila hilang haid maka hendaklah kamu mandi dan solat.” [Shahih al-Bukhari – no: 320 (Kitab al-Haid)]

Syarat paling minimum bagi mandi wajib adalah dikenakan air pada seluruh anggota badan termasuklah ke bawah rambut. Cara yang afdhal ialah sebagaimana tunjuk ajar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Asma’ binti Syakl radhiallahu ‘anha:
“(Orang yang akan mandi), ambillah air dan daun bidara. Kemudian dia berwudhu’ dan memperelokkan wudhu’nya. Kemudian dia menjirus air ke atas kepalanya lalu dia menggosok kepalanya dengan bersungguh-sungguh sehingga air sampai ke kulit kepala. Kemudian dia menjirus air ke atas badannya. Kemudian dia mengambil cebisan kain yang diletak wangian lalu dia bersuci dengannya.”
Asma’ bertanya: “Bagaimana saya bersuci dengannya (cebian kain tersebut)?”
Rasulullah menjawab: “Subhanallah! Bersucilah dengan ia”
Lalu berkata ‘A’isyah kepada Asma’: “Kamu menyapu kesan-kesan darah (dengan cebisan kain tersebut).” [Shahih Muslim – no: 332 (Kitab al-Haid)]
Tidak wajib membuka ikatan rambut kecuali jika ia terikat dengan kuat kerana dibimbangi air tidak akan sampai ke kulit kepala. Umm Salamah radhiallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Wahai Rasulullah! Sesungguhnya saya seorang wanita yang mempunyai rambut yang banyak (lebat), adakah perlu saya merungkaikannya untuk mandi junub”. (Dalam riwayat yang lain): “……untuk mandi haid dan junub.”
Jawab Rasulullah:
“Tidak, memadai kamu menyiram atas kepala kamu dengan tiga kali siraman, kemudian kamu menyiram atas badan kamu dengan air. Maka sucilah kamu.” [Shahih Muslim – no: 330 (Kitab al-Haid)]
Jika haid berhenti sesudah masuk waktu solat maka wajib segera mandi supaya dapat dilaksanakan solat dalam waktunya. Jika menghadapi kesukaran untuk mandi seperti musafir, tidak ada air, mudarat menggunakan air[5] atau sakit, maka boleh bertayamum sebagai ganti kepada mandi. Apabila faktor kesukaran hilang, maka wajib mandi.[6]
Adakalanya apabila haid berhenti di akhir waktu solat, tidak boleh sengaja menangguhkan mandi sehingga ke waktu solat yang seterusnya. Dia tetap wajib mandi, sekalipun hanya secara ringkas supaya tetap dapat melaksanakan solat pada waktunya. Selepas itu bolehlah mandi dengan sempurna.[7]

Glancing at PERKEPIS

PERKEPIS or Sarawak Muslims’ Welfare Association is a Muslim students’ organization founded by a group of medical students in 1997 and officially registered in 2005 under Societies Act 1966 (Akta Pertubuhan 1966). The non government organization gathers school and university students around Sarawak to nurture the power of Islamic knowledge among the local society. The motto, ‘Contribute for The Society (Ummah)’ motivates a lot of Sarawak Muslim youths to confront and bring evolution to the society. Till today, PERKEPIS still stand strong to organize educational programs, even without a concrete financial resource.
For detail taaruf, Visit PERKEPIS BLOG